Saat di rumah sakit, Ibu memberitahu saya, bahwa dokter yang dulu menangani asma saya sewaktu saya kecil, ternyata praktek juga di rumah sakit itu sebagai dokter anak, nama dokter itu tertera di daftar dokter yang terpampang besar di tembok rumah sakit. Ya memang tidak banyak orang yang percaya saya mempunyai penyakit asma, memang semenjak saya SMA penyakit itu sudah jarang kambuh, tidak seperti ketika saya masih kecil.
Saya menderita penyakit asma yang lumayan parah sedari kecil, bukan saya saja, tetapi kedua mas-mas saya juga mengidapnya tetapi tidak separah saya. Ibu juga tidak mengerti dari mana penyakit itu datang, karena dari keluarga bapak atau ibu tidak ada yang mengidap penyakit asma.
Waktu kecil saya punya dokter anak yang khusus menangani asma saya, tempat prakteknya di daerah Tomang, saya masih ingat nama dokternya Dr. Marjanis, tapi kini beliau sudah bergelar Profesor.
Ketika saya berjalan-jalan melihat rumah sakit, suatu ruangan dengan penuh lukisan tokoh kartun di dinding dan ada sebuah miniatur kereta yang dijadikan sabagi timbangan, membuat saya teringat tempat dimana dokter Marjanis praktek. Saya lupa seberapa rutin kah saya mendatangi dokter Marjanis, tapi rasanya sering sekali. Saya masih ingat dengan nuansa anak yang ada di dalam ruangan tunggunya serta ruang prakteknya.
Tapi ada sesuatu yang mengingatkan saya akan rasa yang begitu menyakitkan, rasa yang pernah saya rasakan ketika saya kecil, rasa yang seharusnya tidak perlu dirasakan oleh anak kecil seumuran saya dikala itu. Saya ingat sekali, kala itu asma saya sedang kambuh, saya benar-benar tidak bisa bernafas, rasanya seperti ada yang mencekik hingga nafas sulit sekali melewati paru-paru dan kerongkongan. Saya di bawa ke tempat dokter Marjanis, di baringkan di kasur yang beralas perlak di ruangan yang sudah tidak asing untuk saya. Dokter menutup mulut dan hidung saya dengan sesuatu yang terbuat dari plastik bening dengan selang yang menyambung ke suatu tabung besar, ketika itu juga saya seperti merasa di sekap, saya tidak tahu alat apa yang dipasangkan, tapi itu tidak membantu saya bernafas. Saya ingat betul bagaimana rasanya, yang bisa saya lakukan hanya menangis, saya terlalu cengeng memang. Rasanya saat itu, nafas saya sudah tidak akan lagi keluar dan mungkin saya akan mati. Tapi ternyata Alhamdulillah saya masih diijinkan Allah untuk hidup.
Tidak banyak yang saya ingat ketika bersama Dr. Marjanis, tapi rasa ketika saat itu mungkin tidak akan pernah bisa saya lupakan. Dan saya bersyukur penyakit tu sudah jarang kambuh, karena ketika asma saya kambuh, saya benar-benar lemah, bahkan ketika naik tangga saja, nafas saya seperti orang habis lari marathon.
Btw, tadi ibu saya mengajak saya, kapan-kapan datang memberi kue untuk Dr. Marjanis dan sekedar ingin tahu saja, apa dia masih ingat dengan saya, apa masih ingat dengan anak perempuan cengeng yang nafasnya bunyi seperti kucing ..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar