Seandainya kita tidak perlu memilih. Tidak di sodorkan dengan pilihan-pilihan. Tidak putar otak untuk memastikan pilhan itu salah atau benar. Seandainya. Ya. Seandainya.
Anak adam mengatakan, bahwa anak hawa bukan lah pilihan, terlalu baik untuk sebuah pilihan.
Lalu anak hawa terisak tersungut-sungut di sudut ruang redup.
"Lalu aku ini apa ? "
"Lalu aku tidak terpilih ? "
Fikirannya begitu memutar-mutar saja seperti jalur bus di ibukota. Panas di tengah tekanan batin yang setiap hari mengetuk-ngetuk, seperti lintah darat.
Sampai suatu hari hujan turun, dari rintikan hingga runtuh bersama petir menyala-nyala di langit.
Lalu reda, reda ... semakin reda ... selanjutnya buih tercampur dengan angin, memunculkan embun yang menempel di kaca tempat anak hawa menepi. Menyeka setiap butiran air mata yang menetes di pipinya.
Menalar keluar jendela kedua bola matanya, mencari sebuah titik cerah, titik yang lebih berwarna dari gelapnya langit sore tadi.
Di rapikan alis tebal di atas matanya, bagian favorite anak adam, katanya.
Ada nafas yang di tarik panjang berulang kali, baju hangat ia kenakan, lalu melangkah ke luar menuju gang kecil mengejar cahaya.
Dia menuju rumahnya, rumah yang selalu memberikan ketenangannya.
"Aku ingin pulang ..."
Lirih suara itu terdengar dalam hati sepanjang perjalanan
Dan ... aku pulang.
Aku pulang.
Ke pelukanmu.
Pelukan Anak Adam.